Selasa, 08 Februari 2011

Karakteristik Teori van Hiele

2 Karakteristik Teori van  Hiele
Teori van  Hiele memiliki beberapa karakteristik (van de Walle, 1994:326-327; Clements dan Battista, 1992:426-427; Crowley, 1987:4) sebagai berikut.
1)      Belajar adalah proses yang tidak kontinu. Ini berarti terdapat loncatan dalam kurva belajar yang memperlihatkan adanya celah yang secara kualitatif mem-bedakan tingkatan berpikir. Siswa yang telah mencapai suatu tingkat akan tetap pada tingkat tersebut untuk suatu waktu dan seolah-olah menjadi matang. Dengan demikian tidak akan banyak berarti apabila memberikan sajian kegi-atan yang lebih tinggi dari tingkat yang dimiliki anak (Fuys, dkk.,1988:5).   
2)      Tingkatan van Hiele bersifat hierarkis dan sekuensial. Bagi siswa, untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi dia harus menguasai sebagian besar tingkat sebelumnya. Kecepatan untuk berpindah dari suatu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi lebih banyak bergantung pada isi dan metode pembelajaran diban-dingkan umur atau kematangan biologisnya (van Hiele, 1999:311). Hal ini agak berbeda dengan pendapat Piaget (1983), bahwa kematangan biologis merupakan faktor penting dalam peningkatan tingkat berpikir. Pendapat van Hiele tersebut didukung oleh temuan Clements, dkk. (1999:207), yaitu penga-laman geometri merupakan faktor utama yang mempengaruhi peningkatan tingkat berpikir. Aktivitas-aktivitas yang memungkinkan anak mengeksplo-rasi, berbicara dan berinteraksi dengan materi pada tingkat berikutnya meru-pakan kesempatan terbaik untuk meningkatkan tingkatan berpikir anak.
3)      Konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tingkat menjadi eksplisit pada tingkat berikutnya. Misalnya pada tingkat visualisasi siswa mengenal bangun berdasarkan sifat bangun utuh, tetapi pada tingkat analisis bangun tersebut dianalisis sehingga sifat-sifat serta komponennya ditemukan.
Setiap tingkatan mempunyai simbol bahasa sendiri-sendiri dan sistem yang mengaitkan simbol-simbol itu. Siswa tidak mudah mengerti penjelasan guru-nya apabila guru berbicara pada tingkat yang lebih tinggi dari tingkat siswa (Fuys, dkk., 1988:6). Misalnya, pada level visualisasi objek yang dipikirkan siswa adalah bangun individual. Pada level analisis objek yang dipikirkan siswa adalah kelas bangun. Pada level deduksi informal objek yang dipikirkan siswa adalah definisi kelas bangun. Struktur yang dipikirkan siswa pada level visualisasi adalah pengenalan, penamaan, dan pemilihan bangun secara visual. Struktur yang dipikirkan siswa pada level analisis adalah pengenalan sifat-sifat bangun sebagai karakteristik kelas bangun. Struktur yang dipikirkan siswa pada level deduksi informal adalah perumusan hubungan antar sifat yang logis. Hal ini mungkin akan memunculkan suatu masalah apabila tingkat sajian kegiatan bahan pembelajaran tidak sesuai dengan tingkat berpikir siswa yang menggunakan. terima kasih, semoga bermanfaat.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More